Oleh Kuswaidi Syafiie
Tidak ada satu pun makhluk di alam semesta ini yang tidak
menerima salinan wujud dari Allah Ta'ala, dari mulai yang paling kecil sampai
pada yang terbesar, dari mulai yang paling terkenal sampai yang sama sekali
tidak diketahui oleh umat manusia, dari mulai yang paling rupawan sampai yang
paling buruk, dari mulai yang paling kuat dan gagah sampai yang paling ringkih
dan ceking, dan lain sebagainya.
Seluruh wujud mereka merupakan pengejawantahan dari wujud
hadiratNya. Pasti. Karena jelas bahwa tidak ada sumber wujud yang lain lagi.
Maka, konsekuensinya adalah bahwa seluruh wujud makhluk itu pastilah diliputi
oleh asal-usul mereka itu sendiri. Dan dari situ pula sah adanya sebutan
"Tuhan seluruh alam atau رب العالمين" yang disandang oleh hadiratNya.
Seluruh makhluk murni berposisi sebagai obyek di hadapan
kemahaan Allah Ta'ala. Tidak ada satu pun di antara mereka yang betul-betul
merupakan subyek. Dengan demikian, mereka secara substansial hanya bisa
menerima pengaruh dan sama sekali tidak bisa sebaliknya. Dan di antara seluruh
makhluk yang ada, manusialah yang paling memiliki kemungkinan untuk mendapatkan
pengaruh keilahian sebanyak-banyaknya.
Mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala adalah mengikis segala
bentuk egoisme yang bercokol dan eksis di dalam diri. Pada saat yang bersamaan
juga bisa berarti ikhtiar untuk menampung berbagai macam pengaruh positif yang
tercurah dari hadiratNya. Semakin terkikis dan kalis aneka ragam kekelaman dan
dosa-dosa dari dalam diri, maka akan semakin luas dan kukuh pula porsi kemungkinan
untuk menampung pengaruh-pengaruh keilahian tersebut.
Beribadah, baik secara mahdhah maupun ghairu mahdhah, baik
secara vertikal maupun dalam konteks horizontal, tak lain merupakan proses
"pengilahian" diri dengan cara menekuk jarak yang membentang antara
diri kita dengan Allah Ta'ala. Semakin dekat diri kita dengan hadiratNya,
semakin banyak pula sifat-sifat yang digelontorkanNya kepada kita.
Peristiwa tentang mukjizat yang dialami para nabi atau
karamah yang dialami para wali yang merupakan kejadian luar biasa dan
adikodrati mesti kita pandang dan pahami sebagai petunjuk yang konkret bahwa
Allah Ta'ala itu telah sudi memerankan mereka secara langsung dalam kehidupan
nyata agar menjadi sarana hidayah bagi orang-orang yang menyaksikannya.
Akan tetapi jelas bahwa sifat-sifat keilahian yang luar
biasa dan adikodrati itu jangan pernah menjadi tujuan untuk kita miliki.
Menyematkan tujuan itu di dalam ibadah-ibadah kita hanya akan merusak
nilai-nilai penghambaan kita dan akan membuat serong langkah-langkah perjalanan
rohani kita. Itulah sebabnya, ketika ada seseorang yang datang kepada Syaikh
Abu Yazid al-Basthami dan menyatakan bahwa dia telah berpuasa selama tiga puluh
tahun namun dia belum merasakan adanya bukti-bukti kewalian, Sang Syaikh itu
kemudian menukas, "Kau tak akan pernah sampai pada kedudukan yang terpuji
itu karena tujuanmu dengan berpuasa sudah melenceng."
Artinya adalah bahwa menginginkan adanya sifat-sifat keilahian agar terealisasi ke dalam diri tak lain merupakan hijab yang tebal yang membuat siapa pun akan terpelanting jauh dari hadapan hadiratNya. Ibadah adalah membakar egoisme yang sempit dan sumpek. Sementara menginginkan sifat-sifat keilahian agar bersemayam di dalam diri adalah pengukuhan berhala egoisme yang kelam tersebut. Wallahu a'lamu bish-shawab.
*)Pengasuh PP Maulana Rumi, Sewon Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar